Oleh: Shari S. Warisman
Perjanjian is everywhere
Artinya adalah perjanjian itu ada dimana-mana :)
Kamu beli gula pasir di warung - itu adalah perjanjian. Gak percaya? Lihat penjelasan ini.
Tentu saja hal itu terpenuhi bukan. Nah kalo terpenuhi maka itu disebut perjanjian atau secara redaksi yang keren bisa disebut perjanjian jual beli gula pasir hehehe....
Kalo salah satu unsur tidak terpenuhi, maka tidak bisa itu dilakukan transaksi jual beli gula pasir.
Contoh... dilakukan random pick
Pilih no 3: ada barang nya. Lha kalo gak ada barangnya gimana itu mau dibeli
Pilih no 2: penjual setuju menjual tapi pembeli gak setuju membeli, ya "gak masuk itu barang"
Apa sih pengertian perjanjian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) telah memberikan pengertian bahwa:
Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Pasal 1313 KUHPerdata
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Kegiatan (prestasi) yang biasanya berhubungan dengan Perjanjian adalah:
Ingat, 3 (tiga) diatas adalah rumus dari kegiatan atau prestasi dalam bahasa hukum. Menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu.
Untuk mempelajari perihal perjanjian dapat baca Pasal 1313 KUHPerdata beserta turunannya.
Terdapat 4 (empat) syarat sah perjanjian.
Keempat syarat tersebut dibagi lagi menjadi syarat subyektif dan syarat obyektif.
Syarat Subyektif adalah syarat yang menyangkut para pembuat perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka akan mengakibatkan suatu perjanjian dapat dibatalkan (voidable).
Pasal 1320 KUHPerdata
Sesuai dengan Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata, syarat yang pertama adalah sepakat.
Agar perjanjian menjadi sah maka para pihak yang terlibat harus sepakat (memiliki kesepakatan) terhadap segala hal yang tercantum dalam perjanjian dan para pihak memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Dalam preambule perjanjian (sebelum masuk ke pasal-pasal), biasa tuliskan sebagai berikut "Atas apa yang disebutkan diatas, Para Pihak setuju dan sepakat hal-hal sebagai berikut:"
Pencantuman kata-kata setuju dan sepakat merupakan hal yang sangat penting dalam suatu perjanjian.
Tanpa ada kata-kata ini (atau kata lainnya yang memiliki maksud yang sama dengan memberikan ikatan atau setuju saja atau sepakat saja), maka perjanjian ini dianggap tidak memiliki ikatan bagi para pembuatanya.
Setuju dan sepakat (persetujuan dan kesepakatan) dilakukan oleh para pihak dengan penuh kesadaran, dapat diberikan secara lisan maupun tulisan.
Suatu perjanjian dianggap cacat atau dianggap tidak ada apabila:
Menurut Pasal 1329 KUHPerdata, dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Lebih lanjut Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni:
Berdasarkan pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah.
Kemudian berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.
Adapun mengenai perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum. Selain itu khusus suami istri, juga penting untuk diperhatikan apakah dalam perkawinan tersebut terdapat perjanjian pisah harta.
Selain itu pengertian dewasa juga ada beberapa perubahan tambahan dengan UU Perlindungan Anak
Tips dari Infiniti:
Apabila membuat suatu perjanjian, maka penting didalam perjanjian tersebut, jika pribadi individu yang disebut para pihak, untuk dicantumkan Nomor KTP.Hal inilah yang membuktikan kecakapan pihak untuk membuat suatu perjanjian (karena dianggap dewasa). Sedangkan jika pihak tersebut adalah badan hukum misal PT, maka Direktur PT sebagai orang yang mewakili PT dalam tindakannya melakukan kepengurusan.
Selain syarat subyektif ada yang disebut Syarat Obyektif.
Syarat Obyektif adalah persyaratan yang menyangkut obyek perjanjian.
Tidak dipenuhinya syarat obyektif ini, mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (null and void). Terdapat dua hal yang menjadi syarat obyektif perjanjian, yang akan kita bahas pada poin ke-3 dan ke-4 dalam syarat sah perjanjian berikut.
Hal yang menjadi obyek perjanjian diatur dalam Pasal 1332 - 1334 KUHPerdata.
Lebih lanjut dalam Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
Suatu perjanjian harus memiliki obyek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), dimana hal tersebut menjelaskan sesuatu yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Adapun barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal.
Hal ini diatur dalam Pasal 1335 - 1337 KUHPerdata. Jika obyek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal.
Sebagai gambaran misalnya, perjanjian untuk merampok atau mencuri barang milik orang lain merupakan perjanjian dengan obyek tujuan yang illegal, maka kontrak ini dinilai tidak sah.
Menurut Pasal 1335-1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya.
Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman, oleh karena itu diperlukan kajian lebih lanjut lagi mengenai hal ini.
Terdapat 3 (tiga) asas perjanjian/kontrak dalam kaidah hukum:
Asas kebebasan berkontrak adalah seseorang menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang menyimpang dari apa yang tidak diatur oleh undang-undang, namun tidak diperkenankan yang bertentangan dengan apa yang dilarang oleh undang-undang.
Misal dalam suatu hukum perseroan terbatas, dalam undang-undang disebutkan bahwa direksi berhak mewakili perseroan (contoh dengan demikian semua direktur berhak tanda tangan rekening bank PT), tetapi dalam anggaran dasar boleh menetapkan hanya direktur utama saja yang berhak tanda tangan rekening bank PT.
Asas ini sifatnya adalah universal, sehingga diterapkan di negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang.
Asas Pacta Sun Servanda adalah asas bahwa setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian.
Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termasuk dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa "every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith" yang berarti bahwa: setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas Konsensualisme adalah asas bahwa perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak di antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Berdasarkan asas konsensualisme tersebut, dipahami bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.
Baca juga: Inilah Cara Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan
Perjanjian adalah perbuatan dimana satu orang mengikatkan diri dengan orang lain
Ada 4 (empat) syarat sah perjanjian:
Sepakat dan cakap adalah syarat subyektif perjanjian. Artinya adalah syarat yang menyangkut pembuatan perjanjian
Hal tertentu dan sebab yang halal adalah syarat obyektif. Artinya adalah syarat yang menyangkut obyek perjanjian.
Apabila syarat subyektif perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan
Apabila syarat obyektif perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum
Baca juga: Subrogasi, Novasi dan Cessie: Apa Saja Perbedaannya
Penulis
Shari S. WarismanShari adalah Partner Legal di Infiniti. Memiliki banyak pengalaman dalam pendirian badan usaha khususnya market entry solution di Indonesia. Shari bertanggung jawab atas operasional Divisi Legal untuk memberikan pelayanan terbaik.
Ketentuan Pengutipan Website
Apabila kamu ingin mengutip tulisan dari Infiniti kamu bisa atribut penulisan sumber dengan format dibawah ini:
⬇️ ⬇️ Copy paste ⬇️ ⬇️
Shari S. Warisman. "Syarat Sah Perjanjian: Hafal Cuma 5 Menit". Infiniti Blog [tanggal kamu akses]. https://infiniti.id/blog/legal/syarat-sah-perjanjian